Wellcome

SELAMAT DATANG DI ''HARIAN UMUM LAHAT POS''

Halaman 6


TAJUK
Harus Cermat, Pembatasan BBM
DI negara mana pun kebijakan subsidi selalu menyimpan banyak masalah. Topik lama yang kini kembali menjadi perdebatan adalah soal rencana pembatasan subsidi bahan bakar minyak (BBM). Pasalnya, seiring dengan naiknya harga minyak mentah dan volume pemakaian BBM masyarakat, angka subsidi BBM sudah mengganggu keuangan negara.

Hingga akhir 2010, subsidi BBM diperkirakan melonjak dari yang sudah dianggarkan. Yakni, naik sekitar Rp 3 triliun, sehingga total menjadi Rp 91,9 triliun. Ini bukan angka yang kecil. Terutama, bagi negara Indonesia yang memang membutuhkan dana besar untuk membangun.

Bangkitnya perekonomian beberapa negara pascakrisis ekonomi global memang membawa dampak. Yakni, merangkaknya harga minyak mentah (crude oil) setelah saat krisis global lalu terjun bebas. Berbeda dengan negara-negara maju yang melepaskan harga minyak ke mekanisme pasar (bahkan ditambah pajak), kenaikan harga minyak yang tiba-tiba dan signifikan akan menimbulkan masalah bagi negara seperti Indonesia.

Beban lonjakan harga minyak itu masih ditambah faktor lain. Yakni, volume konsumsi BBM yang juga naik. Kenaikan volume itu, antara lain, akibat meningkatnya berbagai jenis kendaraan bermotor baru yang turun ke jalan raya. Tak perlu repot-repot menghitungnya. Tahun ini, misalnya, jumlah sepeda motor baru yang dibeli masyarakat diperkirakan tembus tujuh juta unit.

Artinya, kalau setiap motor mengonsumsi tiga liter bensin per minggu, dalam setahun kendaraan itu akan menghabiskan sekitar 144 liter bensin. Itu baru satu sepeda motor. Jadi, untuk tahun ini, jumlah konsumsi BBM tinggal dikalikan dengan tujuh juta unit sepeda motor baru.

Kami setuju dengan langkah pemerintah yang kini merancang beberapa opsi kebijakan agar subsidi memenuhi aspek keadilan, tepat sasaran, serta tak terus memberatkan anggaran negara. Ini sesuai dengan pertanyaan mendasar dari kebijakan subsidi: Apakah subsidi memang jatuh kepada yang berhak? Apakah subsidi memberikan manfaat optimal bagi negara dan bukan sebaliknya?

Beberapa opsi pembatasan konsumsi BBM bersubsidi itu, misalnya, hanya diberikan kepada kendaraan berpelat kuning dan roda dua dan kendaraan yang diproduksi maksimal tahun 2004. Ada pemikiran nanti yang dibolehkan membeli BBM bersubsidi adalah kendaraan yang mempunyai striker khusus berbunyi "Kendaraan ini menggunakan BBM bersubsidi". Selain untuk mengatur pemberian subsidi, pemasangan label ini bisa berfungsi sebagai kontrol sosial apakah yang bersangkutan memang layak mendapat subsidi dari negara.

Langkah lain yang dilakukan pemerintah untuk mengurangi penjualan BBM bersubsidi adalah lewat pembatasan dispenser BBM bersubsidi di stasiun pengisian BBM (SPBU). Sebaliknya, pemerintah akan memperbanyak jumlah dispenser di SPBU yang menyediakan BBM tidak bersubsidi seperti Pertamax, Pertamax Plus, solar Dex, dan lain-lain.

Kami berharap kebijakan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi yang dipilih pemerintah nanti benar-benar sudah diperhitungkan dengan matang. Sekali pemerintah salah menghitung akan besar dampaknya. Sebab, BBM menyangkut hajat hidup orang banyak yang pengadaan dan distribusinya perlu dikelola dengan baik. Apalagi, untuk negara kepulauan seperti Indonesia yang begitu luas.

Becermin dari kasus tarif dasar listrik (TDL), masyarakat mungkin setuju dengan kebijakan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi (bahkan mungkin juga kenaikan harga BBM). Namun, karena perhitungan yang kurang cermat, kebijakan itu bisa mentah lagi setelah diprotes banyak kalangan. Belajar dari kasus itu, kebijakan pembatasan subsidi BBM harus komprehensif dan cermat sehingga tak menimbulkan gejolak. (*)